- Oleh Jamal Ma’mur
Manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah di muka bumi ini yang harus dihargai dan dihormati hak dan martabatnya. Inilah visi besar Islam dalam momentum Idul Adha untuk membangun struktur sosial yang egaliter, berkeadilan, dan berkeadaban. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan. Perempuan berkurban seekor kambing untuk 1 orang, begitu juga laki-laki. Perempuan berkurban seekor sapi untuk 7 orang, begitu juga laki-laki.
Pada Idul Adha, perempuan sebagaimana laki-laki, dianjurkan bertakbir, bertahmid, dan mengikuti shalat berjamaah. Spirit emansipasi ini menarik kita kembangkan untuk mewujudkan kesetaraan gender yang selama ini termarginalkan dalam struktur sosial masyarakat yang masih dibelenggu oleh nilai patriarki yang bersumber dari warisan budaya lokal dan pemahaman agama yang eksklusif dan parsial.
Menurut Prof Dr Huzaemah T Yanggo (1996), sejak 14 abad lampau, Alquran menghapus diskriminasi laki-laki dan perempuan. Memang ada kelompok yang masih membatasi peran perempuan, terutama di sektor publik. Perempuan dianggap sumber fitnah dan malapetaka sehingga tak boleh tampil di depan publik. Kelompok ini menggunakan Alquran dan hadis sebagai basis legitimasinya. Pemahaman tekstual, eksklusif, dan rigid melahirkan pandangan sempit.
Tidak Menghakimi
Adapun Agus Maftuh Abegebriel (2011) berpendapat pemahaman
kontekstual adalah pemahaman yang melibatkan konteks historis, sosial,
antropologis, budaya, ekonomi, dan politik secara konfrehensif. Said
Aqil Siradj (1999) mencontohkan Surat An-Nisa’ 4:34 yang menjelaskan
bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan dan hadis Nabi yang
diriwayatkan Imam Bukhari menjelaskan ketidakberuntungan masyarakat yang
dipimpin kaum perempuan, yang dijadikan penghalang bagi kepemimpinan
perempuan di sektor publik. Dua sumber itu, menurut Said Aqil tidak menghakimi perempuan secara total. Surat An-Nisa’ 4:34 dipahami dalam konteks keluarga, sedangkan hadis Nabi ditujukan pada kepemimpinan Ratu Buran, putri Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya diragukan. Menurut KH Hasyim Abbas (2004), ayat yang menunjukkan dominasi laki-laki sifatnya informatif bukan instruktif, sedangkan hadis yang melarang kepemimpinan perempuan adalah ahadi (transmitornya terbatas) belum sampai tingkat mutawatir (disepakati hampir semua transmitor). Sesuatu yang bersifat informatif tidak kuat digunakan landasan menetapkan hukum pasti (haram-wajib).
Al-Baqarah 2:177 menjelaskan bahwa kebaikan seseorang ditentukan oleh dua hal, kesalehan ritual, seperti beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat, kitab-kitab Allah, para nabi, mendirikan shalat, serta kesalehan sosial, seperti memberikan harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, pengembara, menepati janji, sabar dalam keadaan apapun, dan mengeluarkan zakat. Dua kesalehan ini tidak bisa dipisahkan dalam kepribadian umat Islam.
Jangan sampai ajaran sosial Alquran dijalankan secara sporadis tanpa manajemen transpran, akuntabel, dan profesional.
Di sinilah urgensinya mengorganisasikan ajaran sosial Islam agar tepat sasaran dan berhasil optimal untuk memberdayakan kalangan lemah tertindas dan meningkatkan kualitas sumber daya umat agar mampu bersaing pada era global. Semoga Idul Adha ini menjadi momentum efektif dalam menggalang kerja sama secara emansipatoris antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan cita-cita bersama yaitu kemakmuran dan kemajuan di muka bumi. (10)
— Jamal Ma’mur, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (Staimafa) Pati, mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !