Kehadiran siswa di sekolah (school attandence)
adalah kehadiran dan keikutsertaan siswa secara fisik dan mental
terhadap aktivitas sekolah pada jam-jam efektif di sekolah. Sedangkan
ketidakhadiran adalah ketiadaan partisipasi secara fisik siswa terhadap
kegiatan-kegiatan sekolah. Pada jam-jam efektif sekolah, siswa memang
harus berada di sekolah. Kalau tidak ada di sekolah, seyogyanya dapat
memberikan keterangan yang sah serta diketahui oleh orang tua atau
walinya.
Carter V. Good (1981) memberi batasan kehadiran sebagai berikut: “The
act of being present, particulary at school, …attendance at school as
not merely being bodily presence but including actual participation in
the work and activities …”.
Pengertian
kehadiran seperti yang dikemukakan di atas seringkali dipertanyakan,
terutama pada saat teknologi pendidikan dan pengajaran telah berkembang
pesat seperti sekarang ini. Kalau misalnya saja, aktivitas-aktivitas
sekolah dapat dipancarkan melalui TV dan bisa sampai ke rumah, apakah
kehadiran siswa secara fisik di sekolah masih dipandang mutlak? Jika
pendidikan atau pengajaran dipandang sebagai sekedar penyampaian
pengetahuan, sedangkan para siswa dapat menyerap pesan-pesan pendidikan
melalui layar kacanya di rumah, ketidakhadiran siswa di sekolah secara
fisik mungkin tidak menjadi persoalan.
Sebaliknya,
jika pendidikan bukan sekadar penyerapan ilmu pengetahuan, melainkan
lebih jauh membutuhkan keterlibatan aktif secara fisik dan mental dalam
prosesnya, maka kehadiran secara fisik di sekolah tetap penting apapun
alasannya, dan bagaimanapun canggihnya teknologi yang dipergunakan.
Pendidikan telah lama dipandang sebagai suatu aktivitas yang harus
melibatkan siswa secara aktif, dan tidak sekedar sebagai penyampaian
informasi belaka.
Siswa
yang hadir di sekolah hendaknya dicatat oleh guru dalam buku presensi.
Sementara siswa yang tidak hadir di sekolah dicatat dalam buku
absensi. Dengan perkataan lain, presensi adalah daftar kehadiran siswa,
sementara absensi adalah buku daftar ketidakhadiran siswa.
Begitu
jam pertama dinyatakan masuk, serta para siswa masuk ke kelas, guru
mempresensi siswanya satu persatu. Selain agar mengenali satu persatu
siswanya yang masuk sekolah dan yang tidak masuk sekolah. Demikian juga
pada jam-jam berikutnya setelah istirahat, guru perlu mempresensi
kembali, barangkali ada siswanya yang pulang sebelum waktunya. Tidak
jarang, siswa pulang sebelum waktunya, hanya karena sudah dinyatakan
masuk melalui presensi pada jam pertama.
Pada umumnya ketidakhadiran siswa dapat dibagi kedalam tiga bagian: (1) alpa, yaitu ketidakhadiran tanpa keterangan yang jelas, dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; (2) ijin,
ketidakhadiran dengan keterangan dan alasan tertentu yang bisa
dipertanggungjawabkan, biasanya disertai surat pemberitahuan dari orang
tua; dan (3) sakit, ketidakhadiran dengan alasan
gangguan kesehatan, biasanya disertai surat pemberitahuan dari orang
tua atau surat keterangan sakit dari dokter.
Secara
administratif, pengelolaan kehadiran dan ketidakhadiran siswa pada
tingkat kelas menjadi tanggung jawab wali kelas. Oleh karena itu, wali
kelas seyogyanya dapat mendata secara akurat tingkat kehadiran dan
ketidakhadiran siswa di kelas yang menjadi tanggung jawabnya sekaligus
dapat menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk grafik atau tabel
(diusahakan tersedia catatan harian dan tabel/grafik bulanan).
Sementara
untuk tingkat sekolah, petugas yang tepat mengelola kehadiran dan
ketidakhadiran siswa adalah wakasek kesiswaan. Sama halnya dengan wali
kelas, wakasek kesiswaan pun seyogyanya dapat mendata secara akurat
tingkat kehadiran dan ketidakhadiran siswa secara keseluruhan serta
dapat menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk grafik/tabel.
Informasi
tingkat kehadiran dan ketidakhadiran siswa ini sangat berguna untuk
pengambilan kebijakan, baik pada tingkat kelas maupun sekolah serta
dapat digunakan untuk kepentingan pemberian bimbingan kepada siswa
yang mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban kehadirannya di
sekolah.
Rekapitulasi data
ketidakhadiran siswa secara perorangan, –baik karena alasan alpa, sakit
maupun ijin,– seyogyanya disampaikan kepada orang tua, minimal
dilakukan setiap bulan. Hal ini penting dilakukan agar orang tua dapat
mengetahuinya dan dapat mengambil peran dalam upaya mencegah dan
mengatasi masalah ketidakhadiran anaknya.
Bagi
sekolah yang sudah memiliki website sendiri, penyajian rekapitulasi
data bulanan kehadiran dan ketidakhadiran siswa dalam website sekolah
(dengan tetap menjaga hak privacy siswa) mungkin akan sangat
bermanfaat. Selain sebagai bentuk laporan terbuka tentang progress
sekolah, mungkin juga dapat memotivasi siswa dan pihak-pihak lain yang
terkait untuk lebih memelihara dan meningkatkan kehadiran siswa di
sekolah.
Hal lain yang tak kalah
penting dalam pengelolaan kehadiran siswa ini adalah perlunya aturan
ketidakhadiran yang tegas dan jelas, disertai dengan sanksi yang
mendidik (khususnya bagi siswa yang kerap alpa) . Kendati demikian, tidak
diharapkan adanya bentuk sanksi yang secara eksplisit menyatakan
bahwa siswa yang sering tidak hadir wajib menghadap guru BK/Konselor.
Jika hal ini terjadi maka secara langsung ataupun tidak langsung,
Bimbingan dan Konseling akan dipersepsi siswa sebagai “satpam-nya
sekolah”, yang tentunya tidak akan menguntungkan bagi pengembangan
layanan BK sebagai lembaga pelayanan bantuan psikologis di sekolah.
Dalam
konteks pembimbingan atau bimbingan dan konseling, ketidakhadiran
siswa hendaknya dipandang sebagai sebuah GEJALA dari INTI MASALAH yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, dalam upaya membantu siswa yang
mengalami kesulitan dalam kehadirannya di sekolah, maka guru atau
konselor seyogyanya dapat memahami latar belakang dan faktor-faktor
penyebab ketidakhadirannya, untuk menemukan inti masalah yang
sebenarnya. Dengan demikian, upaya pengentasan ketidakhadiran siswa
ini tidak terjebak pada penyelesaian yang bersifat simptomik.
Ada
banyak sumber penyebab ketidakhadiran siswa di sekolah, baik yang
bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri (faktor internal),
–misalnya karena disiplin diri dan motivasi belajar yang rendah-
maupun dari luar diri siswa (faktor eksternal), –misalnya lingkungan
sekolah dan pergaulan yang kurang kondusif. Lingkungan keluarga
merupakan salah satu faktor eksternal yang mungkin bisa menyebabkan
ketidakhadiran siswa di sekolah. Di bawah ini disajikan beberapa
kemungkinan ketidakhadiran siswa yang disebabkan atau bersumber dari
keluarga:
- Kedua orang tuanya baik ayah maupun ibu, bekerja. Hal demikian bisa terjadi, mengingat disamping siswa tersebut tidak mendapatkan pengawasan keluarga, juga bisa jadi yang bersangkutan memang disuruh menjaga rumah oleh kedua orang tuanya.
- Ada kegiatan keagamaan di rumah. Kegiatan keagamaan demikian, terutama pada masyarakat yang religius, bisa menjadikan sebab siswa tidak hadir di sekolah.
- Ada persoalan di lingkungan keluarga. Meskipun masalah tersebut tidak bersangkut paut dengan siswa, umumnya juga mempengaruhi jiwa siswa. Misalnya adanya pertengkaran antara ayah dan ibu, bisa menjadikan penyebab bagi siswa untuk tidak hadir di sekolah.
- Ada kegiatan darurat di rumah. Kegiatan yang sifatnya darurat, lazim memaksa anak untuk turut menyelesaikan sesegera mungkin. Hal demikian, bisa menjadikan penyebab siswa tidak dapat hadir di sekolah.
- Adanya keluarga, famili dan atau handai taulan yang pindah rumah. Ini seringkali menjadikan siswa untuk turut serta membantu serta menghadirinya. Tidak jarang, pindah rumah demikian bersamaan dengan hari dan atau jam sekolah. Pindah rumah memang tidak pernah mempertimbangkan aspek siswa sedang bersekolah atau tidak.
- Ada kematian. Kematian di dalam keluarga umumnya membawa duka bagi anak. Oleh karena dukanya tersebut, anak kemudian tidak hadir di sekolah.
- Letak rumah yang jauh dari sekolah. Hal demikian tidak jarang menjadikan siswa malas untuk hadir ke sekolah. Terkecuali jika ada transportasinya. Sungguhpun demikian, jarang juga ketika sudah ada transportasinya, siswa juga masih tetap tidak hadir di sekolah, karena mungkin waktu itu tidak mempunyai uang ongkos transportasi.
- Ada keluarga yang sakit. Pada saat salah seorang anggota keluarga ada yang sakit, tidak jarang siswa dimintai untuk menunggu atau merawatnya, sehingga menjadi penyebab siswa tidak bersekolah.
- Baju seragam yang tidak ada lagi. Ini dialami oleh mereka yang secara ekonomi memang lemah. Tidak seragam ke sekolah dikhawatirkan mendapatkan sangsi, umumnya siswa memilih tidak hadir di sekolah.
- Kekurangan makanan yang sehat. Ini terjadi pada siswa yang berada di daerah-daerah kantong kemiskinan.
- Ikut orang tua berlibur. Hari libur orang tua yang tidak bersamaan dengan hari libur sekolah bisa memberi peluang bagi tidak hadirnya siswa di sekolah. Karena, tidak jarang siswa mengikuti liburan orang tuanya.
- Orang tua pindah tempat kerja. Orang tua yang pindah tempat kerja bisa menyebabkan anak tidak hadir di sekolah, oleh karena anak kadang-kadang mengikuti orang tua baik untuk jangka waktu lama maupun untuk jangka waktu tertentu saja.
Upaya pengentasan masalah
ketidakhadiran siswa yang bersumber dari faktor keluarga tentu saja
sangat membutuhkan peran dan keterlibatan dari keluarga itu sendiri
untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik. Namun apabila faktor
penyebabnya diduga dari dalam diri siswa, maka layanan konseling perorangan atau bantuan individual tampaknya bisa dijadikan sebagai sebuah pilihan.
Ada teori umum yang bisa dijadikan pegangan bahwa apabila
intensitas dan frekuensi ketidakhadiran siswa di sekolah cenderung
tinggi dan terjadi secara masif, maka bisa diduga faktor penyebabnya
adalah lingkungan sekolah, misalnya karena faktor iklim dan budaya sekolah yang kurang kondusif.
Dalam
hal ini, yang patut dicermati adalah tingkat absensi guru. Dalam
beberapa kasus, ditemukan korelasi yang signifikan antara maraknya
tingkat absensi guru dengan tingkat absensi siswa. Korelasi ini mungkin
sejalan dengan pepatah klasik yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Guru absen satu kali, siswa absen berkali-kali. Oleh
karena itu, untuk mengatasi kasus seperti ini maka yang perlu
diperbaiki adalah lingkungan sekolah itu sendiri. Tindakan represif
terhadap siswa tampaknya tidak akan membuahkan hasil yang optimal,
bahkan mungkin hanya akan meniimbulkan masalah-masalah baru yang
semakin rumit.
---------------------------------------------------
Sumber: Adaptasi dan dikembangkan dari:
Direktorat
Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional 2008. Administrasi dan Pengelolaan Sekolah; Administrasi Kesiswaan. Jakarta
@ http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/10/17/tentang-kehadiran-dan-ketidakhadiran-siswa-di-sekolah/#more-1220
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !